BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya
selaput ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum
usia kehamilan 37 minggu maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan
prematur (Prawirohardjo, 2008).
Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah
sebelum terdapat atau dimulainya tanda inpartu dan setelah ditunggu satu jam
belum ada tanda inpartu (Manuaba, 2010).
Ketuban Pecah dini adalah
ketuban yang pecah sebelum awitan persalinan (Morgan, 2009).
2.1
Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketuban pecah dini
Penyebab KPD masih belum diketahui dan tidak dapat
ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang
berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit
diketahui (Nugroho, 2011).
Faktor-faktor
predisposisi itu antara lain adalah:
2.1.1
Infeksi (amnionitis atau
korioamnionitis).
Korioamnionitis adalah keadaan pada
perempuan hamil dimana korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi
bakteri. Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin,
bahkan dapat berlanjut menjadi sepsis (Prawirohardjo, 2008).
Membrana khorioamnionitik terdiri dari
jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi
maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya
aktivitas enzim kolagenolitik.
Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan
amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus
epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan
ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut dapat melepaskan
mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan
adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban (Varney,
2007).
Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu
segera dimulai upaya untuk melahirkan janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya
indikator yang andal untuk menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh
38ºC atau lebih, air ketuban yang keruh dan berbau yang menyertai pecah ketuban
yang menandakan infeksi (Anonim, 2007).
2.1.2
Riwayat ketuban pecah dini
Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
beresiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya
ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan
kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan
ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi (Nugroho, 2010).
Wanita yang mengalami ketuban pecah dini
pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita
yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya
kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah dini
sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan
kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya (Anonim, 2007).
2.1.3
Tekanan intra uterin
Tekanan intra uterin yang meningkat secara
berlebihan (overdistensi uterus) misalnya hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran
kembar sebelum 37 minggu sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila lebih
dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010).
Perubahan pada volume cairan amnion
diketahui berhubungan erat dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik
karakteristik janin maupun ibu dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan
amnion. Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes
mellitus, janin besar (makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta
dan tali pusat dan penggunaan obat-obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan
kongenital yang sering menimbulkan polihidramnion adalah defek tabung neural,
obstruksi traktus gastrointestinal bagian atas, dan kelainan kromosom (trisomi
21, 18, 8, 13) komplikasi yang sering terjadi pada polihidramnion adalah
malpresentasi janin, ketuban pecah dini, prolaps tali pusat, persalinan pretem
dan gangguan pernafasan pada ibu (Prawirohardjo, 2008).
2.1.4
Serviks yang tidak lagi
mengalami kontraksi (inkompetensia)
Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi
(inkompetensia), didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk
mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan
kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan
uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus
merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop
elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau
laserasi obstetrik (Prawirohardjo, 2008).
Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan
ketika serviks menipis dan membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua
atau awal trimester ketiga kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan
kesehatan dengan keluhan perdarahan pervaginam, tekanan pada panggul, atau
ketuban pecah dan ketika diperiksa serviksnya sudah mengalami pembukaan. Bagi
wanita dengan inkompetensi serviks, rangkaian peristiwa ini akan berulang pada
kehamilan berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis
inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi,
yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa disertai
awitan persalinan dan pelahiran ( Morgan, 2009).
Faktor resiko inkompetensi serviks meliputi
riwayat keguguran pada usia kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat
laserasi serviks menyusul pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar,
adanya pembukaan serviks berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada
kehamilan sebelumnya, ibu berulang kali mengalami abortus elektif pada
trimester pertama atau kedua, atau sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah
besar jaringan serviks (Morgan, 2009).
2.1.5
Paritas
Para adalah seorang wanita yang pernah
melahirkan bayi yang dapat hidup (Saifuddin, 2006).
Paritas terbagi menjadi primipara dan
multipara. Primiparitas adalah seorang wanita yang telah melahirkan bayi hidup
atau mati untuk pertama kali. Multiparitas adalah wanita yang telah melahirkan
bayi hidup atau mati beberapa kali (sampai 5 kali atau lebih) (Varney, 2007).
2.1.6
Kehamilan dengan janin kembar
Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta
bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada
banyak kasus adalah mungkin saja menentukan apakah janin merupakan kembar
monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga ditentukan apakah janin terdiri
dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki
resiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk mengevaluasi
resiko persalinan preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau kembali
dengan cermat setiap kali melakukan kunjungan (Nugroho, 2010).
Wanita dengan kehamilan kembar beresiko
tinggi mengalami ketuban pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya
disebabkan oleh peningkatan massa plasenta dan produksi hormon. Oleh karena
itu, akan sangat membantu jika ibu dan keluarga dilibatkan dalam mengamati
gejala yang berhubungan dengan preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah
(Varney, 2007).
2.1.7
Usia ibu yang ≤ 20 tahun
Usia ibu yang ≤ 20 tahun, termasuk usia yang
terlalu muda dengan keadaan uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga
rentan mengalami ketuban pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35 tahun
tergolong usia yang terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada ibu primi (tua)
dan beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini (Nugroho, 2010).
Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh
terhadap proses kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan.
World Health Organisation (WHO) memberikan rekomendasi sebagaimana disampaikan Seno (2008) seorang ahli kebidanan dan
kandungan dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Sampai sekarang, rekomendasi WHO untuk
usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20
hingga 30 tahun. Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan
masalah karena kondisi fisik belum 100% siap (Agil, 2007).
Beberapa resiko yang bisa terjadi pada
kehamilan di usia kurang dari 20 tahun adalah kecenderungan naiknya tekanan
darah dan pertumbuhan janin terhambat. Bisa jadi secara mental pun wanita belum
siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk memeriksakan diri dan kandungannya
menjadi rendah. Di luar urusan kehamilan dan persalinan, risiko kanker leher
rahim pun meningkat akibat hubungan seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun
ini. Berbeda dengan wanita usia 20-30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani
kehamilan dan persalinan. Di rentang usia ini kondisi fisik wanita dalam
keadaan prima. Rahim sudah mampu memberi perlindungan atau kondisi yang maksimal
untuk kehamilan. Umumnya secara mental pun siap, yang berdampak pada perilaku
merawat dan menjaga kehamilannya secara hati-hati (Agil, 2007).
Pendapat Seno (2008), usia 30-35 tahun
sebenarnya merupakan masa transisi “Kehamilan pada usia ini masih bisa diterima
asal kondisi tubuh dan kesehatan wanita yang bersangkutan termasuk gizinya,
dalam keadaan baik”. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, proses kehamilan dan
persalinan berkaitan dengan kondisi dan fungsi organ-organ wanita. Artinya,
sejalan dengan bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi organ yang menurun.
Semakin bertambah usia, semakin sulit hamil karena sel telur yang siap dibuahi
semakin sedikit. Selain itu, kualitas sel telur juga semakin menurun. Itu
sebabnya, pada kehamilan pertama di usia lanjut, resiko perkembangan janin
tidak normal dan timbulnya penyakit kelainan bawaan juga tinggi, begitu juga
kondisi-kondisi lain yang mungkin mengganggu proses kehamilan dan persalinan
seperti kelahiran preterm ataupun ketuban pecah dini (Agil, 2007).
2.2
Mekanisme teradinya
ketuban pecah dini
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi
uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah
tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior
rapuh, bukan karena selaput ketuban rapuh. Selaput ketuban sangat kuat pada
kehamilan muda. Pada trimester tiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya
kekuatan selaput ada hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan
gerakan janin. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal fisiologis.
Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor
eksternal, misalnya infeksi yang menjalar dari vagina (Prawirohardjo, 2008).
Mekanisme ketuban pecah dini ini terjadi pembukaan prematur serviks
dan membran terkait dengan pembukaan terjadi devolarisasi dan nekrosis serta
dapat diikuti pecah spontan. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin
berkurang. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang
mengeluarkan enzim proteolitik, enzim kolagenase. Masa interval sejak ketuban
pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten, makin panjang fase laten,
semakin tinggi kemungkinan infeksi. Semakin muda kehamilan, makin sulit pula
pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin. Oleh karena itu komplikasi
ketuban pecah dini semakin meningkat (Varney, 2007).
2.3
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang selalu ada ketika
terjadi ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui
vagina, cairan vagina berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan
tersebut masih merembes atau menetes, disertai dengan demam atau menggigil, bercak vagina yang banyak, denyut jantung janin
bertambah cepat, juga nyeri pada perut, keadaan seperti
ini dicurigai mengalami infeksi. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi
sampai kelahiran. Tetapi bila ibu duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah
terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk
sementara (Nugroho, 2011).
Ada pula tanda dan gejala yang tidak
selalu timbul pada ketuban pecah dini seperti ketuban pecah secara tiba-tiba,
kemudian cairan tampak diintroitus dan tidak adanya his dalam satu jam. Keadaan
lain seperti nyeri uterus, denyut jantung janin yang semakin cepat serta
perdarahan pervaginam sedikit tidak selalu dialami ibu dengan kasus ketuban
pecah dini. Namun, harus tetap diwaspadai untuk mengurangi terjadinya
komplikasi pada ibu maupun janin (Varney, 2007).
2.4 Komplikasi
Menurut Varney (2007) komplikasi yang
timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada usia kehamilan. Komplikasi
yang sering terjadi diantaranya :
2.4.1
Persalinan premature
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan.
Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam
24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28 – 34 minggu 50%
persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan
terjadi dalam 1 minggu.
2.4.2
Infeksi
Resiko infeksi pada ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini.
Pada ibu terjadi konrioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septicemia,
pneumonia. Umumnya terjadi korioamnianitis sebelum janin terinfeksi. Pada
ketuban pecah dini prematur, infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara umum
insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini meningkat sebanding dengan
lamanya periode laten.
2.4.3
Hipoksia dan Asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidroamnion yang menekan tali
pusathingga terdaji asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya
gawat janin dan derajat oligohidroamnion, semakin sedikit air ketuban , janin
semakin gawat.
2.4.4
Sindrom Deformitas Janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan
janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin
(Prawirohardjo, 2008).
Komplikasi paling sering terjadi pada KPD
sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang
terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat pada kejadian
KPD. Semua ibu hamil dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan
terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). Selain itu kejadian
prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi pada KPD. Risiko kecacatan dan
kematian janin meningkat pada KPD preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi
fatal yang terjadi pada KPD preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila
KPD preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu (Nugroho, 2011).
2.5
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut dapat
dilakukan dengan kertas nitrazine, kertas ini mengukur pH (asam-basa). pH
normal dari vagina adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3. Tes
tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan trikomonas,
darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni. Pemeriksaan melalui
ultrasonografi (USG) dapat digunakan untuk melihat jumlah air ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah
cairan ketuban sedikit. namun sering terjadi kesalahan pada penderita
oligohidramnion (Nugroho, 2011).
2.6 Terapi
Apabila terjadi pecah ketuban, maka segeralah pergi ke rumah sakit. Risiko kelahiran
bayi prematur adalah risiko terbesar kedua setelah infeksi akibat ketuban pecah
dini. Pemeriksaan mengenai kematangan dari paru janin sebaiknya dilakukan
terutama pada usia kehamilan 32-34 minggu. Hasil akhir dari kemampuan janin
untuk hidup sangat menentukan langkah yang akan diambil. Kontraksi akan terjadi
dalam waktu 24 jam setelah ketuban pecah apabila kehamilan sudah memasuki fase
akhir. Semakin dini ketuban pecah terjadi maka semakin lama jarak antara
ketuban pecah dengan kontraksi. Jika tanggal persalinan sebenarnya belum tiba,
dokter biasanya akan menginduksi persalinan dengan pemberian oksitosin
(perangsang kontraksi) dalam 6 hingga 24 jam setelah pecahnya ketuban. Tetapi
jika memang sudah masuk tanggal persalinan dokter tak akan menunggu selama itu
untuk memberi induksi pada ibu, karena menunda induksi bisa meningkatkan resiko
infeksi (Anonim, 2011).
Penggunaan steroid untuk pematangan paru janin masih merupakan
kontroversi dalam KPD. Penelitan terbaru menemukan keuntungan serta tidak
adanya risiko peningkatan terjadinya infeksi pada ibu dan janin. Steroid
berguna untuk mematangkan paru janin, mengurangi risiko sindrom distress
pernapasan pada janin, serta perdarahan pada otak. Penggunaan antibiotik pada
kasus KPD memiliki 2 alasan. Yang pertama adalah penggunaan antibiotic untuk
mencegah infeksi setelah kejadian KPD preterm. Dan yang kedua adalah
berdasarkan hipotesis bahwa KPD dapat disebabkan oleh infeksi dan sebaliknya
KPD preterm dapat menyebabkan infeksi. Keuntungan didapatkan pada wanita hamil
dengan KPD yang mendapatkan antibiotik yaitu, proses kelahiran diperlambat
hingga 7 hari, berkurangnya kejadian korioamnionitis serta sepsis neonatal (infeksi
pada bayi baru lahir) (Saifuddin, 2006).
2.7 Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini termasuk dalam
kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan dalam mengelola KPD akan membawa akibat
meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya. Kasus KPD yang cukup bulan, jika segera diakhiri
akan meningkatkan insiden bedah secar an jika menunggu persalinan spontan akan
menaikan insiden khorioamnionitis. Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur
kehamilan. Jika umur kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak
janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS (Respirtory distress sindrome)
dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu
evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu optimal untuk persalinan (Nugroho,
2011).
Dalam penetapan langkah
penatalaksanaan tindakan yang dilakukan apakah langkah konservatif atau aktif,
sebaiknya perlu mempertimbangkan usia kehamilan, kondisi ibu dan janin,
fasilitas perawatan intensif, kondisi, waktu, dan tempat perawatan, fasilitas
atau kemampuan monitoring, kondisi atau status imunologi ibu, dan kemapuan
finansial keluarga (Fadlun, 2011).
Adapun
pelaksanaannya :
2.7.1
Penatalaksanaan Konservatif (mempertahankan kehamilan)
Kebanyakan persalinan dimulai dalam 24 – 72 jam setelah
ketuban pecah. Kemungkinan infeksi berkurang bjika tidak ada alat yang
dimasukkan ke vagina, kecuali spekulum steril dan jang melakukan pemeriksaan
dalam (Morgan, 2009).
Beri antibiotika bila ketuban pecah > 6 jam berupa
Ampisillin 4 x 500 mg atau Gentamycin 1 x 80 mg. Umur kehamilan < 32 – 34
minggu dirawat selama air ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak
keluar lagi serta berikan steroid selama untuk memacu kematangan paru-paru
janin (Nugroho, 2011).
2.7.2
Penatalaksanaan Aktif
Kehamilan > 35 minggu dilakukan induksi oksitosin,
jika gagal dilakukan seksio sesaria. Cara induksi yaitu 1 ampul syntocinon
dalam Dektrose 5%, dimulai 4 tetes/ menit, tiap ¼ jam dinaikan 4 tetes sampai
maksimum 40 tetes/ menit. Pada keadaan CPD, letak lintang harus dilakukan
seksio sesaria. Bila ada tanda-tanda infeksi beri antibiotik dosis tinggi dan
persalinan diakhiri (Nugroho, 2011).
mbk buku pengarang nugroho thn 2010 itu yng gimna sih..?? pnegn nyari bwt bahan KTi
BalasHapus